Thursday, March 30, 2017

Manajemen Zakat Pada Masa Rasulullah Saw Dan Pada Masa Khulafa Rasidin

BAB I
PENDAHULUAN

 
A.    Latar belakang
Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Al-Qur’an. Pada awalnya, Alquran hanya memerintahkan
untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin. Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.
Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar. Syari'ah mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti salat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah. Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia dimana pun.

B.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat di di tarik permasalah yaitu:
1.    Bagaimana manajemen zakat pada masa Rosullulah SAW?
2.    Bagaimanan manajemen zakat pada masa khulafa rasyidin?


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Manajemen zakat pada masa Rasulullah SAW
Pada dasarnya manajemen zakat sama dengan manajemen pada umumnya yaitu bagaimana cara  mengatur dan mengelolah zakat .
1.     Zakat Pada Periode Makkah
Ayat-ayat Alqur'an yang mengingatkan orang mukmin agar mengeluarkan sebagian harta kekayaannya untuk orang-orang miskin diwahyukan kepada Rasulullah SAW ketika beliau masih tinggal di Makkah. Perintah tersebut pada awalnya masih sekedar sebagai anjuran, sebagaimana wahyu Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat : 39
''Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)''.

2.    Zakat pada periode Madinah
Dalam buku 125 Masalah Zakat karya Al-Furqon Hasbi disebutkan bahwa awal Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, zakat belum dijalankan. Pada waktu itu, Nabi SAW, para sahabatnya, dan segenap kaum muhajirin (orang-orang Islam Quraisy yang hijrah dari Makkah ke Madinah) masih disibukkan dengan cara menjalankan usaha untuk menghidupi diri dan keluarganya di tempat baru tersebut. Selain itu, tidak semua orang mempunyai perekonomian yang cukup -- kecuali Utsman bin Affan -- karena semua harta benda dan kekayaan yang mereka miliki ditinggal di Makkah. Kalangan anshar (orang-orang Madinah yang menyambut dan membantu Nabi dan para sahabatnya yang hijrah dari Makkah) memang telah menyambut dengan bantuan dan keramah-tamahan yang luar biasa. Meskipun demikian, mereka tidak mau membebani orang lain. Itulah sebabnya mereka bekerja keras demi kehidupan yang baik. Mereka beranggapan pula bahwa tangan di atas lebih utama daripada tangan di bawah.  Pada saat itu keahlian orang-orang muhajirin adalah berdagang. Tidak semua orang muhajirin mencari nafkah dengan berdagang. Sebagian dari mereka ada yang menggarap tanah milik orang-orang anshar. Tidak sedikit pula yang mengalami kesulitan dan kesukaran dalam hidupnya. Akan tetapi, mereka tetap berusaha mencari nafkah sendiri karena tidak ingin menjadi beban orang lain. Misalnya, Abu Hurairah.  Kemudian Rasulullah SAW menyediakan bagi mereka yang kesulitan hidupnya sebuah shuffa (bagian masjid yang beratap) sebagai tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, mereka disebut Ahlush Shuffa (penghuni shuffa). Belanja (gaji) para Ahlush Shuffa ini berasal dari harta kaum Muslimin, baik dari kalangan muhajirin maupun anshar yang berkecukupan. Setelah keadaan perekonomian kaum Muslimin mulai mapan dan pelaksanaan tugas-tugas agama dijalankan secara berkesinambungan, pelaksanaan zakat sesuai dengan hukumnya pun mulai dijalankan. Di Yatsrib (Madinah) inilah Islam mulai menemukan kekuatannya.
Setelah hijrah ke Madinah, Nabi SAW menerima wahyu berikut ini: ''Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan'' (QS Al-Baqarah: 110). Berbeda dengan ayat sebelumnya, kewajiban zakat dalam ayat ini diungkapkan sebagai sebuah perintah, dan bukan sekedar anjuran.
Rasullah Mulai Mengutus para sahat untuk dijadikan utusan sebagai duta guna mendakwakan agama islam dan mengambil zakat. Rasullulah telah menelegasikan Muad bin Yaman seraya bersabda “engkau akan aku utus untuk datang ke ahli kitab. Persoalan utama yang harus engkau dakwahkan kepada mereka adalah mengajak untuk beribadah kepada allah. Jika ia telah mengetahui allah lalu beritahunkanlah kepada mereka tentang allah mewajibkan zakat. Zakat diatrik dari orang-orang yang kaya dan selanjutnya di bagikan kepada kaum fakir.”
Menjelang tahun ke-2 Hijriah, Rasulullah SAW telah memberi batasan mengenai aturan-aturan dasar, bentuk-bentuk harta yang wajib dizakati, siapa yang harus membayar zakat, dan siapa yang berhak menerima zakat Dan, sejak saat itu zakat telah berkembang dari sebuah praktik sukarela menjadi kewajiban sosial keagamaan yang dilembagakan yang diharapkan dipenuhi oleh setiap Muslim yang hartanya telah mencapai nisab, jumlah minimum kekayaan yang wajib dizakati. Selain itu zakat pada masa rasulullah SAW juga di gunakan sebagai sumber pendapatan negara. Walaupun sudah di undangkan sebagai pendapatan negara sejak tahun kedua hijriah, namun baru bisa di pungut sebatas zakat fitrah, kewajiban atas zakat mal masih bersifat sukarela. Efektif pelaksanaan zakat mal baru terwujud pada tahun kesembilan hijriah. Ketika Islam telah kokoh, wilayah negara meluas dengan cepat orang-orang berbondong-bondong masuk Islam. Peraturan yang disusun meliputi sistem pengumpulan zakat, batas-batas zakat, dan tingkat presentasi  sistem penggajian hak-hak amil zakat.
Dapat diartikan bahwa manajemen zakat pada masa rasulullah SAW di gunakan untuk mensejahterakan rakyatnya dengan mengunakan azas berimbang artinya semua pemasukan habis di gunakan untuk dibelanjakan sesuai kebutuhan negara. Karena zakat merupakan ibadah wajib untuk umat islam, maka menghitung berapa besar zakat yang ahrus di keluarkan dapat di lakukan sendiri dengan penuh kesadaran iman dan takwa. Begitulah   rasulullah SAW meletakan zakat yang berlandaskan keadilan sejak masa  awal pemerintahan islam. Karena zakat ini sangat penting dalam menyusun kehidupan yang humanis dan harmonis. Peranan zakat, baik zakat fitrah maupun zakat harta dalam pemerataan pendapatan akan lebih ketara kalau dihubungkan dan dilaksanakan dengan nilai-nilai lainya.

B.    Manajemen zakat pada masa Khulafa ‘al Rasyidun
Pada masa kepemerintahan Khulafa’al Rasyidun  melanjutkan tugas Nabi, terutama tugas tugas pemerintahan khususnya dalam mengembangkan sejarah agama Islam termasuk menegakkan syariat zakat. Karena dalam masa  ini fungsi  zakat sebagai pajak dan sumber utama pendapatan Negara. Abu Bakar di hadapkan pada permasalahan pembangkangan-pembangkangan seperti kaum yang murtad dan kelompok yang tidak mau membayar zakat kepada negara. Abu bakar mengambil langkah-langkah tegas untuk mengumpulkan zakat dari umat Islam termasuk badui yang kembali meperlihatkan pembangkanganya setelah Rasullulah wafat. Menurut imam  sayuti ketika berita wafatnya Rasullulah tersebarr keseluruh penjuru madinah, banyak suku-suku arab yang menolak membayar zakat. Abu bakar memerintakan pasukanya untuk menyerang suku-suku pembangkang tersebut. Langkah ini tidak disetujui Umar bin Khattab ra. dengan alasan, perintah memerangi seseorang itu hanya bisa dibenarkan hingga batas seseorang belum mengucapkan dua kalimah syahadah. Sementara Abu bakar beralasan bahwa apabila tindakan pembangkangan mereka untuk membayar zakat dibiarkan, akan menjadi presiden buruk terhadap pemahaman Islam. Dalam pelaksanaan dan pengelolaan zakat Abu Bakar terkenal dengan keakuratan dan ketelitianya. Terbukti dengan ketelitian dan keakuratanya  khalifah Abu Bakar langsung turun tangan dan mengangkat beberapa tugas (amil zakat), sehingga pemungutan dan penyaluran harta zakat berjalan dengan baik.
Negara juga harus melaksanakan apa yang telah di tetapkan oleh Allah. Zakat di berikan kepada mereka yang berhak menerima sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Quran. Selanjutnya pemungutan dan pengelolaan zakat dalam masa Khalifah Umar Ibn al-Khattab ini makin diintensifkan kaena zakat di jadikan sebagai pendapatan negara, pendapatan ini didistribusikan dalam tingkat lokal. Jika ada kelebihan maka kelebihan tersebut di kirim ke baitul maal pusat dan di bagikan kepada 8 asnaf. Sehingga penerimaan harta zakat makin meningkat, karena semakin banyak jumlah para wajib zakat dengan pertambahan dan perkembangan umat Islam dengan tujuan untuk kemaslahatan umat yaitu : Pertama, Istikhlaf  penugasan sebagai Khalifah di bumi. kedua, solidaritas sosial Ketiga, persaudaraan.
Kemudian pada masa Zakat Pada Masa Kholifah Utsman Ibn Affan. Dalam periode ini, penerimaan zakat makin meningkat lagi, sehingga gudang Baitul Mal penuh  dengan harta zakat selain itu karena kholifah usman adalah  seorang saudagara yang kaya sekalipun menjadi kepala pemerintahan namun bukan berarti kalu beliau kaya tidak akan terjadi masalah justru menimbulkan kesalah pahaman. Dilaporkan untuk mengamankan zakat dalam gangguan dan masalah pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa pengumpul naka, khalifah usman mendelegasikan kewenangan kepada para pemilik untuk menaksirkan kepemiliknya sendiri Usman berpendapat bahwa zakat hanya dikenakan pada harta milik seseorang setelah dipotong seluruh utang-utang yang bersangkutan. Namun pada intinya manajemen zakat pada masa khalifah Usman Ibn Affan, urusan zakat ini demikian  penting, untuk itu dia mengangkat pejabat khusus menanganinya yaitu zaid Ibn sabit, sekaligus mengangkatnya mengurus lembaga keuangan Negara (BaitulMal). Pelaksanaan pemungutan dan pendistribusian zakat makin lancar dan meningkat. Harta zakat yang terkumpul segera di bagi-bagikan kepada yang berhak menerimanya, sehingga tidak terdapat sisa harta zakat yang tersimpan dalam Baitulmal 
Zakat Pada Masa Kholifah Ali Ibn Abi Thalib. Dalam menjalankan kebijakan perekonomian, Ali, sebagaimana juga para khalifah sebelumnya, pemungutan zakat dan pajak-pajak mendapat perhatian utama. Ali melakukannya dengan cara yang adil dan berada dalam batas-batas tertentu, “sepadan” dengan kemampuan rakyat. Cara ini dilakukan agar rakyat tidak mengorbankan kebutuhan hidupnya yang pokok untuk membayar pajak tersebut Dalam penerapan dan pelaksanaan zakat, Ali Ibn Abi Thalib selalu mengikuti kebijaksanaan khalifah-khalifah pendahulunya. Harta zakat yang sudah terkumpul ia perintahkan kepada petugas supaya segera mambagi-bagikan kepada mereka yang berhak yang sangat membutuhkannya, dan jangan sampai terjadi penumpukan harta zakat dalam Baitul Mal. Dalam pendistribusian harta Baitul Mal, khalifah Ali bin Abi Thalib menerapkan prinsip pemerataan. Ia memberikan santunan yang sama kepada setiap orang tanpa memandang status sosial atau kedudukannya dalam Islam. Ali tetap berpendapat bahwa seluruh pandapatan Negara yang disimpan di dalam Baitul Mal harus didistribusikan.


BAB III
KESIMPULAN

Adanya manajemen zakat ini sudah mulai dikenal sejak zaman Rasulullah SAW yang juga dijadikan sabagai sumber pendapatan negara. Yang di mana tidak hanya dapat memperbaiki perekonomian pada masa itu tapi juga memperkuat ukhuwah Islamiyah para umat Islam dimasa itu. Sehingga banyak para muallaf yang berbondong-bondong memperkuat agama Islamnya ataupun non-Islam yang berpindah agama menjadi Islam. Mereka tersentuh haru dengan adanya ikatan sosial yang kuat antar umat muslim yang saling tolong-menolong tidak hanya dalam bidang ekonomi namun juga dalam dikehidupan sehari-hari. Jiwa sosialisme loyalitas mereka cukup erat dan kuat. Karena dalam manajemen zakat ini sendiri mengutamakan kesejahteraan umat tidak sekedar egosentrisme mencari kesejahteraan untuk diri sendiri. Tentu manajemen zakat ini sebagai upaya implementasi nilai-nilai agama Islam agar tidak sekedar omong kosong yang saat ini dapat dibuktikan salah satunya dengan hadirnya Rumah Zakat yang tersebar dibeberapa wilayah di Indonesia..