head

Breaking News
Loading...
Sunday, March 19, 2017

Etos Kerja, Larangan Meminta, Mukmin Yang Kuat Dapat Ujian dan Tangan Diatas Lebih Baik Daripada Tangan Dibawah

10:22 AM
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

    Islam adalah agama yang sempurna dengan kitab sucinya “Al Qur-an nur karrim” yang memberikan tuntunan yang jelas sejelas jelasnya sesuai syariah Islam. Didalam Al Qur-an dan Hadis telah memuliakan orang
orang yang giat bekerja dan bersodaqoh daripada meminta minta karena hal tersebut diharamkan.
    Namun kini meminta minta adalah yang biasa kita lihat diperkotaan terutama menjelang hari hari besar (Idul Fitri dan Idul Adha). Oleh karena itu ,kami mencoba mempersembahkan beberapa hadis yang menyatakan dengan jelas mana yang diperbolehkan dan mana yang diharamkan.

B.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:

1.    Bunyi hadis yang mengharamkan meminta minta ?
2.    Bunyi hadis yang meharuskan etos kerja dan penjelasannya !


 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Etos kerja dalam pandangan Islam
 
Dalam salah satu riwayat shahih Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda, 

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ الْحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَكُفَّ اللَّهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ .
 
“Sesungguhnya apabila seseorang di antara kalian mengambil tambang kemudian mencari kayu bakar dan diletakkan diatas punggungnya, hal itu adalah lebih baik baginya dari pada ia mendatangi seseorang yang telah dikarunai keutamaan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian meminta-minta padanya, adakalanya diberi dan ada kalanya ditolak.” (HR. Bukhari, 5/320 dan Muslim)
 
Hadits ini menjelaskan tentang betapa pentingnya “bekerja” bagi seorang Muslim, walau hanya dengan mencari kayu bakar.
 
Rasulullah sebagai seorang teladan selalu memberikan motivasi kepada semua sahabatnya untuk selalu giat dan bekerja dengan benar, seperti dalam penuturan beliau,
 
Bekerja adalah bagian dari ibadah dan jihad, jika seseorang konsisten terhadap hukum Allah, suci niatnya, serta dilakukan untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga bahkan masyarakat dan negara. Disabdakan,

إِنْ كَانَ يَسْعَى عَلىَ وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلىَ أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيْرَيْنِ فَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلىَ نَفْسِهِ لِيَعِفَّهَا فَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلىَ أهله فَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى تَفَاخُرًا وَتَكَاثُرًا فَفِي سَبِيْلِ الطَّاغُوْتِ
 
“…kalau ada seseorang keluar dari rumahnya untuk bekerja guna membiayai anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha Fisabilillah. Jikalau ia keluar bekerja untuk kedua orangtuanya  yang sudah tua, maka ia Fisabilillah. Jikalau ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itupun Fisabilillah. Jikalau ia bekerja untuk keluarganya, maka ia Fisabilillah. Tetapi apabila ia bekerja untuk pamer atau untuk bermegah-megahan, maka itulah Fisabili Syaithan atau karena mengikutu jalan Syaithan.” (HR. Thabrani 2/148).
 
Di samping itu seorang Muslim juga harus senantiasa menjaga amanah serta melakukannya dengan profesional. 

إِنَّ الله يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ
 
“Sebaik-baik pekerjaan ialah usahanya seseorang pekerja apabila ia berbuat sebaik-baiknya (profesional) ” (HR. Baihaqi 5312)  
 
Sudah amat jelas bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan seseorang untuk bekerja. Lantas kenapa seseorang diharuskan untuk bekerja?
 
Pertama,    Seorang Muslim diperintahkan bekerja, untuk memenuhi kebutuhan pribadi dengan harta yang halal, mencegahnya dari kehinaan meminta-minta, dan menjaga tangannya agar tetap berada di atas.
Kedua,    Bekerja diwajibkan demi terwujudnya keluarga yang sejahtera. Tanggung jawab seorang suami sebagai kepala keluarga adalah memberikan nafkah yang halal dan thayib bagi istri serta anak-anaknya. Dalam hadits di atas digambarkan bahwa seorang yang mencari nafkah untuk anaknya yang kecil itu sama dengan fisabilillah.
Ketiga,    Walaupun seseorang tidak membutuhkan pekerjaan, karena kebutuhan diri dan keluargannya telah terpenuhui, ia tetap wajib  bekerja untuk masyarakat sekitarnya. Suatu ketika ada seorang tua renta bernama Abu Darda sedang menanam pohon kenari. Saat itulah lewat seseorang dan bertanya kepadanya, “Untuk apa kamu menananm pohon itu? Kamu sudah tua, sedangkan pohon itu tidak akan berbuah kecuali sesudah sekian tahun” Abu Darda menjawab,”alangkah senangnya hatiku bila mendapatkan pahala darinya, karena orang lain yang akan makan hasilnya.” Inilah pemahaman seorang Muslim tentang kehidupannya.
Keempat,    Dalam Islam bekerja diharapkan dapat memakmurkan bumi. Sedangkan memakmurkan bumi adalah bagian dari maqasidus syari’ah ajaran islam. Apa yang kita kerjakan seyogianya juga untuk kemanfaatan seluruh makhluk hidup, termasuk hewan. Nabi bersabda, 

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
 
“Siapakah dari kaum Muslimin yang menanam tananam atau tumbuhan lalu dimakan oleh burung, manusia atau hewan, kecuali baginya sedekah,.” (Muttaffaqqun ‘alaih, Bukhari, No. 2/5 dan Muslim, No. 1552, 1553)
Kelima,    Bekerja untuk kerja. Pada hakikatnya setiap Muslim diminta untuk bekerja meskipun hasil pekerjaanya belum dapat dimanfaatkan satupun makhluk Allah, termasuk hewan. Ia tetap wajib bekerja karena bekerja merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Anas dikatakan,
 

B.    Larangan Meminta Dalam Pandangan Syariat
 
Banyak dalil yang menjelaskan haramnya meminta-minta. Diantara ialah sebagai berikut.

Hadits Pertama:
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.

“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan dating pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya”. (HR Bukhari [1474] dan Muslim [1040]).

Hadits Kedua:
Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ.

“Barang siapa meminta-minta kepada orang lain untuk memperbanyak hartanya, maka seolah-olah ia memakan bara api” (HR Muslim [1041]).
.
Hadits Ketiga
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َالْـمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِيْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ.

“Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu”( Shahîh. At-Tirmidzi (no. 681), Abu Dawud (no. 1639), an-Nasâ`i (V/100) dan dalam as-Sunanul-Kubra (no. 2392), Ahmad (V/10, 19), Ibnu Hibbân (no. 3377 –at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (VII/182-183, no. 6766-6772), dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ` (VII/418, no. 11076).



C.    Mukmin Yang Kuat Dapat Ujian
 
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
 
"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun masing-masing ada kebaikan. Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah janganlah mengatakan, "Seandainya aku berbuat begini dan begitu, niscaya hasilnya akan lain." Akan tetapi katakanlah, "Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat." Sebab, mengandai-andai itu membuka pintu setan." (HR. Muslim)
 
Maksud mukmin kuat dalam hadits di atas adalah kuat imannya, bukan semata kuat fisik atau materi. Karena kuatnya fisik dan materi akan membahayakan diri jika digunakan untuk kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

 
D.    Tangan Diatas Lebih Baik Daripada Tangan Dibawah

Hadis pertama,

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ عَنْ الْمَسْأَلَةِ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَالْيَدُ الْعُلْيَا الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى السَّائِلَةُ
 
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id dari Malik bin Anas sebagaimana yang telah dibacakan kepadanya dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda di atas mimbar, beliau menyebut tentang sedekah dan menahan diri dari meminta-minta. Sabda beliau: "Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang dibawah. Tangan di atas adalah tangan pemberi sementara tangan yang di bawah adalah tangan peminta-minta." (HR. Muslim 1715)

Hadis kedua,

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَليٍ الْجَهْضَمِيُّ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا شَدَّادٌ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ أَنْ تَبْذُلَ الْفَضْلَ خَيْرٌ لَكَ وَأَنْ تُمْسِكَهُ شَرٌّ لَكَ وَلَا تُلَامُ عَلَى كَفَافٍ وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى
 
Telah menceritakan kepada kami Nashru bin Ali Al Jahdlami dan Zuhair bin Harb dan Abdu bin Humaid mereka berkata, Telah menceritakan kepada kami Umar bin Yunus telah menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar telah menceritakan kepada kami Syaddad ia berkata, saya mendengar Abu Umamah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai anak Adam! Sesungguhnya jika kamu mensedekahkan kelebihan hartamu, itu lebih baik bagimu daripada kamu simpan, karena hal itu akan lebih berbahaya bagimu. Dan kamu tidak akan dicela jika menyimpan sekedar untuk keperluan. Dahulukanlah memberi nafkah kepada orang yang menjadi tanggunganmu. Tangan yang di atas adalah lebih baik, daripada tangan yang di bawah." (HR. Muslim 1718).


BAB III
KESIMPULAN

Sudah amat jelas bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan seseorang untuk bekerja. Lantas kenapa seseorang diharuskan untuk bekerja?
 
Pertama,    Seorang Muslim diperintahkan bekerja, untuk memenuhi kebutuhan pribadi dengan harta yang halal, mencegahnya dari kehinaan meminta-minta, dan menjaga tangannya agar tetap berada di atas.
Kedua,    Bekerja diwajibkan demi terwujudnya keluarga yang sejahtera.
Ketiga,    Walaupun seseorang tidak membutuhkan pekerjaan, karena kebutuhan diri dan keluargannya telah terpenuhui, ia tetap wajib  bekerja untuk masyarakat sekitarnya.
Keempat,    Dalam Islam bekerja diharapkan dapat memakmurkan bumi. Sedangkan memakmurkan bumi adalah bagian dari maqasidus syari’ah ajaran islam. Apa yang kita kerjakan seyogianya juga untuk kemanfaatan seluruh makhluk hidup, termasuk hewan. Nabi bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
“Siapakah dari kaum Muslimin yang menanam tananam atau tumbuhan lalu dimakan oleh burung, manusia atau hewan, kecuali baginya sedekah,.” (Muttaffaqqun ‘alaih, Bukhari, No. 2/5 dan Muslim, No. 1552, 1553)
Kelima,    Bekerja untuk kerja. Pada hakikatnya setiap Muslim diminta untuk bekerja meskipun hasil pekerjaanya belum dapat dimanfaatkan satupun makhluk Allah, termasuk hewan. Ia tetap wajib bekerja karena bekerja merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Anas dikatakan,


DAFTAR PUSTAKA

    Al-Quranul-Karim
    Shahîh Bukhâri.
    Shahîh Muslim.
 
Toggle Footer