head

Breaking News
Loading...
Sunday, April 16, 2017

Istishna'

9:42 AM
BAB II
PEMBAHASAN
 
1.    Pengertian Istishna
Al- Istishna merupakan akad kontrak jual beli barang antara dua belah pihak berdasarkan pesanan dari
pihak lain dan barang pesanan akan sesuai dengan spesifikasi yang telah di sepakati dan menjulanya dengan harga dan cara pembayaran yang telah di sepakati terlebih dahulu. Istishna adalah akad penjualan antara al-mustashni (pembeli) dengan as-shani (produsen yang bertindak sebagai penjual). berdasarkan akad istishna, pembeli menugasi produsen untuk membuat atau mengadakan al-mashnu (barang pesanan) sesuai spesifikasi yang di syaratkan dan menjualnya sesuai dengan harga yang di sepakati. Adapun secara istilah al-istishna adalah permintaan atau pesanan dari pihak pemesan tentang sesuatu yang khusus dan dikerjakan dengan cara yang khusus.

Dalam kontrak istishna, pembuat barang menerima pesanan dari pemberi. Pembayaran atas transaksi jual beli dengan akad istishna dapat di laksanakan di muka, dengan cara angsuran dan / atau di tangguhkan sampai jangka waktu pada masa yang akan datang.
 
Mekanisme pembayaran  istishna harus di sepakati dalam akad dan dapat di lakukaan dengan tiga cara, yaitu  :
a.    Pembayaran di muka, yaitu pembayaran  di lakukan secara keseluruhan pada saat akad sebelum aset istishna diserahkan oleh bank syariah kepada pembeli akhir ( nasabah )
b.    Pembayaran di lakukan pada saat penyerahan barang , yaitu pembayaran di lakukan pada  saat barabg di terima oleh pembeli akhir. Cara pembayaran ini di mungkunkan adanya pembayaran termin sesuai dengan proses pembuatan aset istishna.
c.    Pembayaran di tangguhkan, yaitu pembayaran dilakukan setelah aset istishna di serahkan oleh bank kepada pembeli akhir.
Istishna’ adalah akad yang menyerupai akad salam , karena bentuknya menjual barang yang belum ada (ma’dum) dan sesuatau yang akan dibuat itu pada akad ditetapkan dalam tanggungan pembuat sebagai penjual.

Hanya saja ada beberapa perbedaan dengan salam karena :
a.    Dalam ishtisna’ harga atau alat pembayarana tidak harus dibayar dimuka seperti pada akad salam.
b.    Tidak ada ketentuan tentang lamanya pekerjaan dan saat penyerahan.
c.    Barang yang dibuat tidak harus ada dipasar.

Dari sisi lain ishtisna’ ini hampir sama dengan ijarah (sewa –menyewa), namun berbeda dengan ijarah , karena dalam istisna’ si pembuat atau produsen  menggunakan barang atau bahan yang dibuat dari hartanya sendiri bukan dari harta mustasyi’ atau pemesan.

2.    Dasar hukum Istishna
Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa istishna adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan.

Ada beberapa dasar hukum dari istishna, yaitu :
a.    Al-Qur’an
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. (Qs. Al-Baqarah: 275)

Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.

“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”(al-Baqarah:282)

b.    As-Sunnah
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)

Dari perbuatan yang di lakukan oleh nabi di atas, dapat kita jadikan bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan.

c.    Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.

d.    Kaidah Fiqhiyah
Para ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
“ Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.”

e.    Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna
1)    Pelaku, harus cakap hukum dan baligh.
2)    Objek akad:
    Ketentuan tentang pembayaran :
    Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa  uang, barang, atau mamfaat, demikian juga dengan cara pembayarannya.
    Harga yang telah ditetapkan dalam akad tidak boleh berubah. Akan tetapi apabila setelah akad ditandatangani pembeli mengubah spesifikasi dalam akad maka penambahan biaya akibat perubahan ini menjadi tanggung  jawab pembeli.
    Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
    Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang.
   
Ketentuan tentang barang :
   Barang pesanan harus jelas spesifikasinya (jenis, ukuran, motu) sehingga tidak ada lagi jahalah dan perselisian dapat dihindari.
    Barang pesanan diserahkan kemudian.
    Waktu dan penyerahan pesanan harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
    Barang pesanan yang belum diterima tidak boleh dijual.
    Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai dengan kesepakatan.
    Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau mebatalkan akad.
    Dalam hal pemesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat, tidak boleh dibatalkan sehingga penjual tidak dirugikan karena ia telah menjalankan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan.

3)    Ijab kabul
Adanya pernyataan dan espresi saling ridha/rela diantara pihak-pihak akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara komonikasi mudern.

4)    Logika
Orang membutuhkan barang yang spesial dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen.
Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.

3.    Rukun dan Syarat Istishna
Pelaksanaan  al-istishna’ harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini
a.    muslam atau pembeli
b.    muslam ilaih atau penjual
c.    modal atau uang
d.    muslam fiihi
e.    sighat atau ucapan

Syarat al-istishna’
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-istishna’ juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan di uraikan di antara dua syarat terpenting, yaitu modal dan barang.
a.    Modal Transaksi al-istishna’
    Modal Harus di ketahui.
    Penerimaan pembayaran salam.

b.    Al-muslam fiihi (Barang)
    Harus spesifik dan dapat di akui sebagai utang
    Harus bisa di identifikasi secara jelas
    Penyerahan barang di lakukan di kemudian hari
    Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan penyerahan segera.
    Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyrahan barang.
    Tempat penyerahan.
    Penggantian muslam fiihi dengan barang lain.

4.    Skema Akad
Dalam pembiayaan istishna, bnak bertindak sebagai penerima pesanan, juga sebagai pemesan barang yang di inginkan oleh nasabah.
Berikut ini merupakan skema pembiayaan istishna :

Keterangan :
1.    Nasabah memesan barang kepada bank selaku penjual. Dalam pemesanan barang telah di jelaskan spesifikasinya, sehingga bank akan menyediakan barang sesuai dengan pesanan nasabah.
2.    Setelah menerima pesanan nasabah, maka pihak bank akan segera memesan barang kepada pembuat / produsen. Produsen  akan membuat barang sesuai pesanan bank.
3.    Bank menjual barang kepada pembeli / pemesan dengan harga sesuai dengan kesepakatan.
4.    Setelah barang selesai di buat, maka akan di serahkan oleh produsen kepada nasabah atas perintah pihak bank.

B.    Skema istishna bila produsen di pilih nasabah

 
Keterangan :
1.    Nasabah memesan barang kepada bank selaku penjual atau bank mewakilkan nasabah untuk memesan kepada produsen.
2.    Bank  menjual kepada pembeli/ nasabah
3.    Bank syariah membeli dan memesan barang sesuai dengan pesanan yang telah di perjanjikan antara pihak bank dan pembeli  atau nasabah.

BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Al- Istishna merupakan akad kontrak jual beli barang antara dua belah pihak berdasarkan pesanan dari pihak lain, dan barang pesanan akan sesuai dengan spesifikasim yang telah di sepakati  dan menjulanya dengan harga dan cara pembayaran yang telah di sepakati terlebih dahulu.
Mekanisme pembayaran  istishna harus di sepakati dalam akad dan dapat di lakukaan dengan tiga cara, yaitu  :
1.    Pembayaran di muka, yaitu pembayaran  di lakukan secara keseluruhan pada saat akad sebelum aset istishna diserahkan oleh bank syariah kepada pembeli akhir ( nasabah )
2.    Pembayaran di lakukan pada saat penyerahan barang , yaitu pembayaran di lakukan pada  saat barabg di terima oleh pembeli akhir. Cara pembayaran ini di mungkunkan adanya pembayaran termin sesuai dengan proses pembuatan aset istishna. Pembayaran di tangguhkan, yaitu pembayaran dilakukan setelah aset istishna di serahkan oleh bank kepada pembeli akhir.
Adapun dasar-dasar hukum dari istishna adalah :
•    Al-Qur’an
•    As-Sunnah
•    Al- Ijma’
•    Kaidah fiqiyah
•    Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna
•    .Logika


Dalam istishna terdapat rukun dan syarat, yaitu :
•    Rukun al- istishna terdiri dari  :
1.    muslam atau pembeli
2.    muslam ilaih atau penjual
3.    modal atau uang
4.    muslam fiihi
5.    sighat atau ucapan
•    Syarat al-istishna’ terdiri dari :
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-istishna’ juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun.syarat dari al- istishna yaitu modal dan barang.
a)    Modal Transaksi Bai al-istishna’
    Modal Harus di ketahui.
    Penerimaan pembayaran salam.

b)    Al-muslam fiihi (Barang)
    Harus spesifik dan dapat di akui sebagai utang
    Harus bisa di identifikasi secara jelas
    Penyerahan barang di lakukan di kemudian hari
    Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan penyerahan segera.
    Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyrahan barang.
    Tempat penyerahan.
    Penggantian muslam fiihi dengan barang lain.


DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Perbankan syariah. Jakarta : Kencana, 2011
Jaih Mubarok , Perkembangan Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia.   Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani, 2001
 
Toggle Footer